Perjalanan Impian I: Tokyo
Assalamualaikum Wr.Wb.
Konnichiwa, Minna San!
Perkenalkan
nama aku Shaharani, biasa dipanggil Shaha. Alhamdulillah di tahun 2023 kemarin menerima
MEXT (Ministry
of Education, Culture, Sports, Science and Technology) Japan Scholarship.
It’s been a year since I’m living in Japan, specifically here, in Shinjuku, Tokyo,
and how does it feel? Despite the language, it surprisingly feels like home.
Sesaat
setelah tiba di Jepang langsung disambut oleh suhu udara yang sangat berbeda
dengan Indonesia (sekitar 10 - 15ᵒC), bersanding dengan bentang alam dan suasana kota
yang tidak kalah jauh berbeda, namun alhamdulillah bahkan sejak hari pertama,
it didn’t feel strange at all.
Mugkin
kalimat yang selalu digaungkan orang tua-ku benar adanya, “di manapun kamu
berada, kita dekat, karena daratan apapun yang kamu pijak, kita dinaungi hamparan
langit yang sama. Semesta Allah, itulah rumah.”
Semua
terasa nyaman saat lahir di Tasikmalaya, menetap di Bogor bersama orang tua,
hidup sendiri di Jakarta karena pekerjaan, dan lalu berkesempatan pergi ke
Tokyo untuk mempersiapkan pendidikan; membuatku berpikir mungkin rumah
bukanlah tempat di mana fisik kita berada, tapi tempat di mana hati kita
digenggam.
Selagi
Allah yang menggenggam hati kita, semua tempat pasti terasa nyaman, inshaAllah.
Tapi
mengesampingkan perasaan hati, mari kita berkisah tentang perbedaan yang tampak
secara physically di tempat ini.
Hal
pertama yang aku notice ketika tiba di Jepang adalah lingkungannya.
Kondisi
udara dan air di sini sangat bersih. Bahkan di Tokyo, pusat kota dengan segala
hiruk pikuknya, udara masih dikategorikan good oleh IQAir. Tap
water pun aman untuk diminum langsung, setiap hari aku minum “air mentah” yang
rasanya mirip Aqua.
Jumlah kendaraan bermotor di jalan raya sangat sedikit,
padahal Jepang adalah the world's third-largest automobile producing nation in the world. Ketika aku bertanya pada sensee (guru) di sekolah, beliau
menjawab, “bukan harga kendaraannya yang mahal, tapi management-nya yang menyusahkan:
biaya pajak, parkir, dan perawatan yang tidak murah.”
Di
sini kereta dan sepeda menjadi transportasi favorite masyarakat, pun
dengan berjalan kaki. Kita akan mendapati lebih banyak orang berjalan ketimbang
mobil yang berlalu lalang. Target 10.000 langkah per hari bukanlah sesuatu yang
sulit dicapai, karena dengan kondisi alam yang ada, fasilitas publik yang
memadai, berjalan kaki menjadi suatu hal yang menyenangkan untuk dilakukan.
Sampah tidak bisa dibuang sembarangan: wajib dipilah.
Kertas, plastik, botol PET,
kaleng, kaca, sampah organik, semuanya harus dipisah. Penggunaan kantung
plastik di supermarket pun masih sangat diperbolehkan karena sistem daur
ulangnya yang sudah luar biasa.
Hal yang sangat mengejutkan lainnya adalah pembuangan tissue toilet.
Kalau
di Indonesia membuang tissue ke dalam toilet adalah hal yang
sangat terlarang karena dapat menyebabkan tersumbatnya saluran pembuangan, di
sini justru HARUS WAJIB dibuang ke dalam toilet, tidak boleh dibuang ke tempat
sampah. And that's genius actually, banyak risiko penyakit yang dapat dihindari
dengan tidak menumpuk tissue toilet bekas pakai di tempat sampah. Every
country needs to adopt this method, periodt.
Masih banyak hal baik dan efisien dari sistem negara ini, tapi tidak perlu kita bahas satu persatu karena tidak akan ada habisnya. Hanya saja ada satu hal yang harus kita garis bawahi, alasan mengapa sistem itu bisa terwujud adalah kepatuhan masyarakat pada aturan hukum. Mungkin tidak semua, tapi mayoritas penduduknya seperti itu, PATUH, dan itu adalah hal yang perlu kita contoh.
Terus mengeluhkan berbagai kebijakan yang pemerintah buat, mungkin kita harus sedikit berkaca apakah selama ini kita sudah menjadi rakyat yang baik? Renungan yang mungkin akan kita bahas di lain kesempatan.
After
experiencing life in this country, deep down in my heart, I truly desire that
our beloved homeland, Indonesia, has an environment as clean as Japan.
Selanjutnya mari bercerita tentang biaya hidup. How much it cost to live in Japan (Tokyo
to be exact)? A lot.
Aku
tinggal di dorm atau asrama sekolah dengan biaya sewa perbulan 30,000 Yen atau
sekitar 3 juta rupiah (belum termasuk biaya listrik), dan itu adalah harga yang amat
sangat murah untuk sebuah tempat tinggal di Shinjuku, Tokyo; pada umumnya biaya
sewa berkisar di harga 8 juta rupiah ke atas.
Tapi
tentu karena aku tinggal di asrama, banyak aturan yang harus dipatuhi seperti
tidak boleh membawa teman untuk menginap, berlakunya jam malam, dilarang
merokok di kamar, dll.; aturan asrama pada umumnya.
Fasilitas
yang didapatkan adalah kamar yang sudah dilengkapi kasur, meja belajar, kulkas
pribadi, AC (air conditioner), dan lemari. Sedangkan toilet, dapur, dan shower
room dipakai bersama. Di asrama ini pun terdapat coin laundry atau mesin
cuci koin, Wi-fi, dan perpustakaan.
Karena
kita tidak diperbolehkan mencuci baju di kamar mandi, jadi sudah pasti memakai
mesin cuci koin dan sekali mencuci aku menghabiskan 300 Yen (30.000 rupiah).
Namun untuk sepatu dan selimut harus dicuci di tempat laundry khusus
yang biayanya sekitar 1,000 Yen (100.000 rupiah).
Beralih
ke sim card, aku menggunakan provider UQ-Mobile dengan package per bulan 15 GB
seharga 2,800 Yen (280.000 rupiah). Tidak hanya lebih mahal, proses mengurus
kartu sim di Jepang pun jauh lebih kompleks ketimbang di Indonesia, saat itu
aku membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam untuk registrasi di counter UQ-Mobile.
Sedikit
additional information, penduduk Jepang tidak berbahasa Inggris, jadi
meskipun kita orang asing, mereka akan menggunakan Bahasa Jepang untuk
berkomunikasi dengan kita. Termasuk dokter, staff fasilitas publik, mall, café,
supermarket, restoran, dan lain sebagainya. Language barrier is a real thing.
Lanjut..
Kita
pun wajib memiliki asuransi kesehatan nasional yang menjamin 70% biaya
perawatan medis. Karena aku pelajar, perbulannya harus membayar 1,800 yen (180
ribu rupiah), tapi jika status kita di Jepang adalah pekerja, biayanya bisa
mencapai 8,000 yen (800 ribu rupiah) per bulan.
Untuk
makanan di sini harganya berkisar di 500 yen (50 ribu rupiah) paling murah,
kalau ramen, satu set tempura, udon, atau makanan utama pada umumnya berkisar
di harga 1,000 – 2,000 yen (100 - 200 ribu rupiah).
Tapi
karena aku muslim, cukup sulit menemukan tempat makan halal, dan kalaupun ada,
harganya jauh lebih mahal, jadi mau tidak mau harus masak sendiri dan
alhamdulillah jadi lebih hemat. Bisa dikatakan sebulan 30,000 yen (3 juta
rupiah) itu sudah cukup untuk makan (masak sendiri) dan jajan camilan.
Nah,
menurut aku yang sangat mahal di sini itu adalah tiket commuter line. Di
Indonesia dari Bogor ke Jakarta Kota hanya 7000 rupiah, dan itu sudah melewati
sekitar 20-an stasiun. Tapi di Jepang, perjalanan satu stasiun saja biayanya
berkisar 140 Yen (14.000 rupiah).
Aku
kalau pergi sehari bisa menghabiskan 100 ribu rupiah hanya untuk kereta. Jadi
sebenarnya tips hidup hemat di Jepang adalah jangan banyak jalan-jalan, akomodasinya
mahal.
Selanjutnya
kita beralih ke topik yang cukup banyak ditanyakan teman-teman di Indonesia yaitu bagaimana rasanya menjadi seorang muslim di negeri minoritas. Jujur,
sedikit sulit.
Pertama,
karena aku berkerudung, “dilihatin” itu sudah jadi makanan sehari-hari.
Diperlakukan berbeda juga, ya, beberapa kali.
Kalau
aku sendiri pernah merasakan kasir yang agak kurang ramah, di dalam kereta
pernah “dihindari”, ibu yang menarik tangan anaknya agar tidak dekat-dekat
dengan aku, hal-hal semacam itu, lah.
Awal-awal aku merasa sedikit kurang nyaman, seperti tidak diterima oleh lingkungan.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku
mulai bisa melihat dari sisi mereka, dan aku paham.
Anggaplah kita melihat orang yang penampilannya “berbeda”, memakai kostum super
aneh misalnya, pasti dalam diri ada perasaan ingin tahu, alhasil jadi ngelihatin
orang itu terus-menerus atau justru sebaliknya, berusaha menjauh, and
that’s very understandable.
Jadi
sekarang alhamdulillah aku sudah tidak tersinggung lagi, karena setiap orang
punya hak untuk merespon apa yang ada di sekitarnya, bukan? Selagi tidak
membahayakan siapapun, I’m fine with that.
Selain
itu banyak juga pertanyaan kenapa berkerudung, kenapa bajunya panjang, apa
engga panas, terlebih di musim panas Tokyo yang suhunya bisa mencapai 37ᵒC.
Aku hanya tertawa tipis sembari berkata, “daijoubu (gk apa-apa, aku
baik-baik aja) hehe”.
Di
situ, lah, ujiannya, harus menerima bahwa memang aku berbeda dan aku tidak
perlu berusaha menjadi sama. That’s it.
Semoga
aku dan teman-teman lain yang merasakan hal serupa terus Allah beri kekuatan
sehingga bisa tetap istiqomah, ya, aamiin.
Hal
selanjutnya yang cukup membuat aku merindukan Indonesia adalah tidak adanya
suara adzan dan akses shalat yang luar biasa terbatas. Tapi alhamdulillah-nya
lagi hadiah dari Allah kepada umat nabi Muhammad SAW adalah, kita bisa ibadah
di manapun. Shalat with a view alias di alam terbuka adalah hal yang lumrah
dilakukan, tapi jangan sampai mengganggu kenyamanan publik.
Kendala
lainnya adalah terbatasnya variasi makanan yang muslim friendly, padahal
ekspektasiku saat tiba di Jepang adalah kulineran, tapi ternyata tidak
semudah itu.
Saat
berbelanja bahan makanan atau camilan pun kita harus scan barcode
terlebih dahulu untuk memastikan kehalalannya di aplikasi Halal Japan atau menerjemahkan
setiap ingredients dan allergen yang dicantumkan.
We
take a lot of time just to buy chocolate and chips.
Berkali-kali
ditawarkan untuk minum alkohol.
Saat
kita punya relationship yang baik dengan orang Jepang, jangan heran kalau
mereka bersemangat sekali mengajak kita minum-minum, karena itu adalah budaya
yang sangat mengakar di sini. Pertama kali diajak, aku menolak dengan alasan, “maaf,
saya seorang muslim, tidak boleh minum alkohol”. Tapi tidak berhenti di situ, ada
lagi ajakan kedua dan ketiga masih dengan orang yang sama. Alhamdulillah selalu
aku tolak dengan jawaban yang sama pula.
I
heard that it’s considered rude to decline alcohol drink in Japan, especially
in social or business setting. Tapi
selagi kita punya alasan, menolak dengan baik dan konsisten, mereka akan paham (source:
senpai). Additional info: orang Jepang tidak suka orang yang tidak
konsisten, jadi kita harus kukuh menolak dari awal sampai akhir.
Semoga
tetap berpendirian teguh, ya.
Alhamdulillah
selama tinggal di Tokyo, Allah pertemukan dengan banyak orang Jepang yang
baik.
Beberapa
kejadian yang menurut aku spesial: aku pernah ketiduran di kelas, depan
belakang samping diagonal itu cowok semua, tapi sensee minta siswi perempuan
yang kursinya jauh untuk bangunin (menyentuh) aku.
Pernah
jalan di pedestrian dan di depan aku ada kakek-kakek sama anjingnya, setelah
lihat aku kakek-kakek itu berhenti jalan, menarik anjingnya, dan dengan ramah meminta
aku untuk jalan duluan, itu aku terharu banget, sih.
Di
sekolah saat pesta kelulusan kemarin ada acara makan-makan di siang hari yang
bertepatan dengan Ramadhan, dan sekolah menyiapkan bento khusus untuk umat
muslim yang berpuasa.
Dua
hari setelahnya club karate yang aku ikuti pun mengadakan curry party
yang seharusnya diadakan pukul 5 sore. Tapi sensee karate memutuskan untuk
mengatur ulang acara menjadi pukul 5.45 sore (waktu berbuka puasa). Mereka pun
memasak makanan halal agar yang muslim bisa menikmati makanannya.
Saat
ada yang membagikan camilan pun mereka tidak jarang berkata, “Saha san gk boleh
makan ini, ya, ada dagingnya.”
Awareness dan kepedulian mereka terhadap kepercayaan
yang aku anut membuat aku semakin yakin bahwa kebaikan bisa Allah hadirkan di mana pun, kapan pun, dan dari siapa pun.
Dalam beberapa hari ke depan aku akan pergi dari Tokyo dan menetap di Asahikawa, Hokkaido untuk melanjutkan pendidikan di College. Semoga di tempat baru pun Allah hadirkan banyak kebaikan, kenyamanan, dan kemudahan dalam beribadah, belajar, berteman, maupun hubungan sosial lainnya. Aku juga berharap this homey atmosphere would never go away, aamiin.
Pembahasan terakhir, apa saja yang aku pelajari selama satu tahun di Tokyo ini?
Selama satu tahun ini alhamdulillah
aku berkesempatan belajar di 東京日本語教育センター atau Tokyo Japanese Language
Education Centre. Di sini aku belajar Bahasa Jepang dan manner dasar
yang berlaku dalam kehidupan sosial orang Jepang.
Aku mulai dari 0; dari a i u e o karena di Indonesia tidak pernah belajar Bahasa Jepang. Lalu bagaimana hasilnya dalam satu tahun, apakah sudah lancar? Aku pribadi belum, masih sangat jauh dari kata lancar, and I’m worried because in a few days I will be entering a new environment where only Japanese is spoken.
Sekolah Bahasa ini diisi oleh siswa/i
asing (luar Jepang), alhasil komunikasi sehari-hari lebih sering menggunakan Bahasa
Inggris.
Aku sendiri belum overcome this
problem jadi tidak punya kapasitas untuk menceritakan pengalamannya
bagaimana, tapi banyak sudut pandang yang aku terima dari senpai (kakak tingkat).
Ada yang berkata dengan kemampuan Bahasa
Jepang yang kurang akan mendapat kesulitan yang cukup berarti nanti di college,
ada juga yang berkata Bahasa adalah sesuatu yang dapat dikuasai seiring
berjalannya waktu, jadi tenang saja.
Which one is better? It depends
what kind of words that work for you. Apakah kalian tipe yang suka diberikan pressure dan
memacu diri sedemikian rupa atau justru kalian ingin menjalani semuanya dengan
hati yang tenang. That’s your preference.
Me? I’m just living the life. Once I’ve overcome this nihongo problem, I’ll tell you the experience, inshaAllah.
Selama satu tahun ini aku belajar
bersama siswa/i lain yang juga penerima beasiswa MEXT dan aku takjub. Aku
mengira karena program yang aku ikuti setara dengan strata D3 di Indonesia,
siswa/i nya akan biasa saja (seperti aku), ternyata oh ternyata mereka semua
luar biasa.
Satu sekolah isinya manusia-manusia
pintar semua, ya Allah, aku merasa seperti butiran debu, and I’m not
being hyperbolic tapi memang kenyataannya seperti itu, bahkan ada
siswa yang masuk top global 1000 terbaik matematika, something like
that. Tidak perlu jauh-jauh, bahkan teman-temanku yang sama-sama
berasal dari Indonesia pun WOW meroket.
Merasa rendah diri pasti pernah, tapi
di atas itu, aku sangat kagum melihat mereka, terlebih orang Indonesia,
ternyata negara kita punya banyak sekali pemuda/i dengan kualitas yang tidak
main-main.
Observing them makes me
believe that if our government and civil service are filled with individuals as
competent as they are, coupled with unwavering honesty and trustworthiness,
Indonesia’s prospects as a developed country in the future are undeniably promising!
Kita punya bibit itu, lho, ternyata.
Selain itu hal lain yang aku pelajari di sini adalah pertemanan.
Back when I was still in Indonesia, I was someone
who was very introverted. I found it difficult to make friends with others,
only had a few people I knew. Kalimat 1000 teman kurang 1 musuh kebanyakan sama
sekali tidak relatable saat itu.
However, I felt that here.
I have this one person who
made me feel uncomfortable and I had to cut them out of my life, and yup, it’s
weighing me down.
That’s only one person, I don't know how many people in Indonesia I've distanced myself from and I'm okay with that, but here, social life trouble makes me anxious.
I love making friends now,
I like chit-chatting, I love smiling and saying hi when passing by someone. I’ve
become the most extroverted version of myself and I’m grateful for that.
Ternyata berteman tidak seburuk itu.
Mungkin saat di Indonesia aku juga
bukan orang yang menyenangkan (bagaimana tanggapannya teman-teman Indonesia-ku?).
Namun semenjak tinggal di negeri orang, aku berusaha untuk tidak bersikap
seperti dahulu karena aku takut keburukan yang aku tunjukkan berdampak kepada impression
mereka terhadap agama yang aku anut.
As I
mentioned before, I’m wearing hijab dan orang yang memakai hijab di sini sangat
jarang, berbeda dengan di Indonesia. Jadi saat mereka melihat aku, mereka akan
langsung membubuhkan cap, “she’s a moslem” alhasil apa pun yang aku lakukan,
besar kemungkinannya akan mereka kaitkan dengan Islam.
Karena hal itu, aku
ingin coba merepresentasikan seorang muslim yang ramah, suka menolong, murah
senyum, baik hati, tidak sombong, rajin menabung, the list goes on; agar
suatu hari saat fitnah bertebaran menyerang Islam, mereka akan berkata, “I
had a friend, a practicing moslem, and she’s the best person I’ve ever met.”
Namun semakin
dijalani, ternyata cara berteman seperti itu justru membuat hatiku nyaman,
alhamdulillah.
Aku baru menyadari ternyata mempelajari
manusia sangatlah menyenangkan, karena bersamaan dengan itu aku mampu melihat
diriku lebih dalam, I can learn how to improve my personality, how to treat
people around me, how to comfort people, and how to be beneficial for them. Remembering
when the Prophet Muhammad SAW said, “the best of people are those who are most
beneficial to others.”
Aku harap proses ini terus berlanjut dan semakin meningkat setiap harinya, aku harap aku bisa terus memperbaiki diri sehingga akan ada banyak manfaat dan hubungan baik yang terbangun ke depannya, aamiin. Thank God for this amazing life, I love it, so much, alhamdulillah.
Cerita chapter ini selesai, semoga bisa bermanfaat; minimal menghibur para pembaca :)
Jika ada pertanyaan silakan dm di @shaharanitp. Sekian, terima kasih, sampai bertemu tahun depan dengan testimoni hidup di wilayah terdingin Jepang; Hokkaido!
Komentar
Posting Komentar